Jumat, 10 Juni 2011 | By: isna dian krisnandi :)

CERPENKU :D

Inilah Cobaan Hidupku
Namaku Dian, aku adalah anak berusia 13 tahun yang sudah tidak mempunyai Ayah. Aku hidup hanya bersama Ibu. Mungkin hidupku tidak seberuntung anak-anak kota yang dapat bersekolah dengan tenang tanpa harus memikirkan biaya. Awalnya, kehidupanku baik-baik saja sebelum Ayah pergi meninggalkan kami, mungkin Ayah bosan dengan kehidupan kami yang serba pas-pasan ini, ia akhirnya memilih pergi dengan pengusaha wanita yang tentunya dapat menjamin kehidupan Ayah. Sejak saat itu kehidupan kami berubah total, dulu aku masih dapat bersekolah, namun karena faktor ekonomi keluarga kami yang sangat  tidak mencukupi ini, akhirnya aku memilih berhenti dan membantu Ibu bekerja. Tetapi ternyata setelah Ayah meninggalkan Ibu, Ibu sering sakit-sakitan dan sekarang sudah tidak mampu untuk bekerja. Itulah awal mula kehidupan aku saat ini, aku hanya dapat meminta-minta dipinggir jalan. Ya, itulah aku, seorang anak jalanan yang hidupnya tergantung oleh orang lain.
****
            Suatu saat, aku merenung dipinggir jalan, “Kenapa aku harus menjadi anak peminta-minta? Dimana harga diriku?” kataku sambil menundukkan kepala kemudian berjongkok selagi menunggu lampu merah akan menyala. Dan akhirnya senja telah tiba, saatnya pulang dan membeli makanan untuk Ibu dan aku. Hanya dua bungkus roti yang dapat aku beli. Sesampainya dirumah, aku melihat Ibu yang sedang menangis di dalam kamarnya, dan aku pun mulai menghampirinya.
            “Bu, mengapa Ibu menangis? Apa karena masalah Ayah lagi?” tanyaku kepada Ibu sambil menaruhkan tanganku di bahunya.
            “Ibu tidak apa-apa. Ibu hanya sedang memikirkan bagaimana nasib kita?” jawabnya, sambil menghapus air matanya.
            “Memangnya, kenapa dengan nasib kita? Dian sudah rela menjadi pengemis, asalkan Dian bisa melihat Ibu makan dan sehat. Dian rela melakukan apapun asal Ibu bahagia.” gumamku.
           


1

“Bukan itu yang Ibu maksud. Tetapi tadi pemilik rumah ini datang kemari untuk menagih uang sewa rumah, kita sudah tidak membayar selama 3 bulan. Dan kita hanya memiliki waktu 1 minggu untuk melunasinya.” jawab Ibu yang kembali meneteskan air matanya.
            Aku hanya bisa terdiam meratapi nasib dan kemudian memeluk Ibu. Setelah itu Ibu memintaku untuk mengambil air wudlu dan bergegas untuk sholat berjamaah. Aku melihat betapa Ibu berdoa dengan sangat sungguh-sungguh.
****
            1 minggu telah berlalu, dan orang itu datang lagi untuk menagih tunggakan uang sewa rumah kami. Sampai sekarang aku dan Ibu masih belum memiliki uang untuk membayarnya. Akhirnya dengan sangat kasar dan tidak sopan, kami diusir dari tempat itu. Betapa sedihnya Ibu saat itu, sungguh berat rasanya meninggalkan rumah itu melihat banyak kenangan yang terjadi saat suka dan duka bersama Ayah.
            Kami berjalan terus tanpa mengenal lelah. Sampai akhirnya kami menemukan tempat tinggal dimana orang-orang yang tidak mampu hidup disana. Kami bergegas menghampiri mereka dan meminta ijin agar diperbolehkan untuk tinggal disana bersama mereka. Aku tidak menyangka, ternyata mereka begitu ramah dan dengan senang hati menerima kita untuk tinggal disana. Inilah awalnya aku mulai memiliki teman yang bernasib sama denganku, disinilah, di bawah jembatan. Walau begitu aku sudah cukup bersyukur karena aku masih memiliki seorang Ibu yang tegar dan sabar menerima ini semua. Teman-temanku membantu aku untuk mencari kardus guna membuat rumah sederhana di bawah jembatan itu.
            Keesokan harinya, aku dan teman-teman bersiap-siap untuk mencari uang, dengan apalagi kami makan kalau bukan dari hasil mengemis. Melihat Ibu yang sedang bekerja membanting tulang, aku menjadi lebih bersemangat lagi. Setelah aku berpamitan kepada Ibu, aku  langsung menjumpai teman-temanku yang sudah menunggu aku sejak tadi. Jiwa sosial mereka sangatlah besar.  
****
           

2
Hanya ini kunyanyikan senandung lagu dariku untuk Mama. Hanya sebuah lagu sederhana, lagu cintaku untuk Mama.”  hanya itu sepenggal lagu yang aku ingat dan sering aku nyanyikan bila aku sedang meminta-minta uang. Akhirnya teman-teman mengajakku untuk menghitung hasil yang aku dapatkan dan setelah itu pulang. Ternyata aku hanya bisa mendapatkan uang Rp 5.100,00 hanya itu yang aku dapatkan. Mungkin aku harus bekerja lebih giat lagi agar dapat membuat Ibu senang.
“Hai, kau kenapa?” tanya Tania salah satu temanku yang paling banyak bicara.
“Aku tidak apa-apa, hanya saja aku kurang beruntung hari ini.” jawabku.
“Oh, karena uang yang kau dapat hanyalah sedikit?” tanyanya begitu heran.
“Iya, tapi mungkin ini karena aku kurang bersemangat.” gumamku dengan wajah yang ditekuk.
“Sudahlah, masih ada lain hari untuk mendapatkan yang lebih baik lagi.” sambung Endah, dan temanku yang satu ini pandai sekali berdebat.
Ternyata berteman bersama mereka sungguh menyenangkan, dan tidak terasa ternyata kami sudah sampai di rumah masing-masing. Sesampainya dirumah, Ibu sedang menghidangkan makan malam untukku, walaupun hanya dengan mie instan tetapi aku bangga karena itu adalah hasil keringatku sendiri.
“Makanlah nak, pasti kau sudah lapar sekali.” sapa Ibu dengan sangat ramah.
            Tiba-tiba terdengar suara keras yang mengagetkan seluruh penghuni bawah jembatan. “Pergi kamu, dasar anak tidak pernah diuntung! Buat apa ayah membesarkanmu kalau kau tidak bisa mengahasilkan apapun!” seketika itu para warga berhamburan keluar rumah dan menghampiri asal suara tersebut.
            Ternyata ia adalah Pak Rio yang sedang memarahi anaknya, karena anaknya tidak mendapatkan uang yang cukup untuknya. Untuk apalagi kalau bukan berjudi. Anak Pak Rio adalah Agung, ia anak yang rajin beribadah, dan pemalu. Aku sempat berkenalan dengannya walau ia tidak pernah ingin menatapku.
            “Hei, kau apakan anakmu yang tidak bersalah itu?” tanya seorang warga yang sudah sangat kesal dengan sikap Pak Rio yang setiap kali memarahi anaknya sendiri.
            “Apa urusanmu, dia anakku. Dan kau tidak perlu ikut campur! Bubar kalian semua!” jawabnya dengan sangat lantang.
           
3
Semua warga kembali kerumah masing-masing karena memang hari sudah sangat larut.
            Pagi-pagi sekali ternyata teman-teman sudah menghampiriku, dan aku pun bergegas untuk menemui mereka. Di sepanjang perjalanan, teman-teman hanya membicarakan kejadian semalam.
            “Kasian ya Agung, menurutku dia tidak salah apa-apa. Pak Rio memang orang yang kejam.” kata Tania yang sejak tadi tidak dapat berhenti berbicara.
            “Kabarnya itu, Pak Rio begitu karena dia merasa Agung adalah penyebab kematian ibunya.” sahut Endah menyambung.
            “Mengapa begitu?” tanyaku dengan sangat ingin tahu.
            “Jadi begini kata ayahku, ibu Agung meninggal dunia saat melahirkan Agung.” jawab Tania dengan sangat antusias.
            “Tapi waktu itu Agung masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Jadi, kenapa dia harus di salahkan?” tanyaku yang sejak tadi belum mengerti apa maksud dari teman-temanku.
            “Sudah-sudah, buat apa kita membicarakan orang lain. Lebih baik sekarang kita mencari uang saja! Lihat itu, lampu merah sudah menyala.” sambung Endah yang sudah malas membicarakan Agung.
****
            Sudah berhari-hari aku masih saja ingin tahu apa yang telah terjadi oleh keluarga Agung. Kata Ibu, Pak Rio masih belum bisa menerima kepergian istrinya, dan melampiaskannya terhadap Agung. Setiap hari Pak Rio hanya bisa berjudi, dan enggan bekerja, jadi ia hanya mengandalkan dari hasil kerja keras anak satu-satunya itu. Dan kata Ibu, aku tidak boleh terlalu ikut campur dengan urusan keluarga Pak Rio, karena Pak Rio orang yang sangat tidak suka ada orang lain yang suka ikut campur dengan masalah keluarganya.
            Saat matahari mulai terbit, aku pun bergegas untuk menuju perempatan yang sering aku dan teman-teman kunjungi. Di perjalanan, aku melihat ada anak yang sedang merenung dibawah pohon. Aku pun menghentikan langkahku, dan mencoba menghampiri anak itu.
            “Hei, sedang apa kau ada disini?” tanyaku agar aku dapat melihat wajahnya.
4
 5 menit telah berlalu, anak itu tidak juga menjawab pertanyaanku, dan berpaling menatapku. Sungguh heran aku saat itu, untung saja saat itu aku sedang sendiri, kalau tidak pasti Endah dan Tania sudah menyuruhku untuk meninggalkan anak ini sendirian.
            “Apa kau mendengarku?” tanyaku kembali dan mulai untuk menyentuh bahunya. Hanya 5 detik tangan ku berada di bahunya, anak itu langsung menggerakkan badannya agar tanganku menyingkir darinya dan ia pun menolehkan wajahnya. Aku tersentak melihat anak itu, ternyata ia adalah Agung.
            “Agung, kau tidak apa-apa?” tanyaku dengan sangat khawatir. Tetapi sepertinya ia tetap saja tidak mau menjawab.
            “Hei, apa kau tidak mempunyai telinga untuk mendengar dan mulut untuk menjawab?” tanyaku dengan kesal.
            “Dasar orang aneh, tidak ada kerjaan lain ya?” jawabnya dengan sangat kesal.
            “Aku hanya khawatir dengan kau soal kejadian malam itu.” jawabku menjelaskan.
            Belum sempat ia menjawab, Tania dan Endah sudah menemukanku, karena ternyata sejak tadi mereka telah mencariku.
            “Dian, buat apa kau ada disana? Buang-buang waktu saja.” kata Tania yang sudah siap untuk memarahiku.
            “Iya, kau kurang kerjaan, padahal kerja kamu kan masih banyak, jadi buat apa kau hanya diam disitu bersama orang yang sudah jelas tidak akan menanggapimu.” sahut Endah menyambung.
            “Hei, kalian berdua kenapa sih? Aku hanya ingin memastikan apa dia baik-baik saja atau tidak.” jawabku dengan sangat kecewa.
            “Kenapa, kamu suka sama Agung?” sambung Tania dengan sangat emosi.
            Belum sempat aku menjawab, Agung sudah pergi meninggalkan kami. Aku sungguh khawatir dengan dia, kira-kira apa dia masih sering dihukum oleh Ayahnya? Pikirku dalam hati.
            “Ayo cepat nanti keburu siang! Jangan melamun terus.” bentak Endah.
            Sesampainya di perempatan, mereka berdua segera meminta-minta. Tetapi aku tetap saja mencari Agung, mungkin saja ia juga mencari uang di tempat ini.
            “Dian sudahlah, buat apa kau memikirkan Agung, dan belum tentu ia
5
memikirkanmu juga.” tegur Endah.
            “Iya-iya, aku akan segera mencari uang.” jawabku dengan sangat kecewa karena ternyata Agung sudah tidak mencari uang disini.
            Setelah selesai, aku pun menghitung hasil pendapatan, tetap saja hanya mendapat sedikit. Aku pun mulai menuju rumah dan melewati rumah Agung.
            “Dian, tunggu!” seru orang yang sedang memanggil dibelakangku.
            Aku pun menoleh kebelakang, dan aku tidak menyangka ternyata yang memanggilku adalah Agung. Ternyata dia bisa juga memanggil namaku, tetapi seperti biasa, ia tak pernah mau menatap wajahku, seburuk apa sih aku?
            “Ada apa?” tanyaku.
            “Aku hanya ingin minta maaf soal kejadian tadi pagi yang sudah kasar kepadamu, tetapi aku tidak bermaksud untuk…” belum sempat ia melanjutkan Endah langsung memotong pembicaraan kami berdua.
            “Sudah-sudah, sekarang sudah sore. Ayo kita pulang! Maaf ya Gung, kami harus pulang.” kata Endah yang sangat mengecewakanku.
            Agung hanya menunduk sambil mangangguk-angguk. Akhirnya aku ditarik Endah untuk segera pulang kerumah. Dan Tania, ia hanya diam malihat kejadian tadi.
****
            Sesampainya dirumah Ibu segera mendatangiku.
            “Nak, ada apa denganmu hari ini?” tanya Ibu seperti mengetahui yang telah terjadi tadi sore.
            “Dian tidak apa-apa Bu.” jawabku dengan gelisah.
            “Ibu tahu, pasti kejadian tadi sore?” katanya dengan sangat yakin.
            “Ibu melihatnya?” tanyaku malu.
            “Iya, tadi Ibu tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian sewaktu akan kewarung membeli makan buat kamu. Dan Ibu rasa, kelakuan Tania dan Endah seharusnya tidak perlu seperti itu. Sebaiknya, kamu nasehati mereka berdua. ” jawab Ibu menjelaskan.
            Aku hanya bisa terdiam dan segera menyelesaikan makan. Dan Ibu kembali ke dapur untuk membuatkan aku minum. Setiap malam tidak pernah terlewatkan suara Pak Rio yang sedang memarahi Agung. Aku dan Ibu hanya bisa menggelengkan kepala,
6
kenapa Pak Rio dapat setega itu kepada anak kandungnya sendiri?
            Keesokan harinya, aku dan Ibu terkejut mendengar suara Pak Rio yang begitu keras memanggil nama Agung. Semua warga terkejut dan menghampiri Pak Rio.
            “Ada apa pak?” tanya seorang ibu-ibu yang sedang menyapu halaman rumah kardusnya.
            “Begini, itu si Agung pergi bermain hingga tak pulang kerumah dan tidak menyetorkan hasil kerjanya.” jawab Pak Rio dengan kesal.
            “Bertobatlah Pak Rio, karena Agung selama ini adalah anak yang baik dan tidak sepatutnya anda menghukum Agung seperti itu.” jawab warga lain yang juga cemas mencari Agung.
            “Alah, tahu apa kalian tentang keluarga saya!” jawab Pak Rio dengan sangat lantang dan keras. Setelah itu Pak Rio segera meninggalkan warga dan kembali mencari Agung.
Sudah 5 hari Agung menghilang, dan aku merasa bersalah kepadanya, mengapa sore itu aku meninggalkam dia sendirian. Sekarang Pak Rio sudah menyesal atas kesalahannya selama ini. Pak Rio hanya bisa meratapi nasibnya, seperti orang yang sudah kehilangan akal sehatnya. Dan kehidupanku berlangsung seperti biasa dan apa adanya.
“Dian, kau kenapa?” tanya Tania heran, karena semenjak Agung hilang aku jadi sering sekali melamun.
“Aku hanya kepikiran oleh Agung, apa dia baik-baik saja atau justru sebaliknya?” jawabku lesu.
“Dian, dengerin aku, kita tidak boleh ikut campur oleh keluarga mereka. Kamu tahu sendiri, bagaimana sikap Pak Rio. Aku dan Tania tidak ingin kamu celaka.” Sambung Endah menjelaskan.
“Kalian berdua itu sudah keterlaluan, Agung butuh teman, dia butuh kita.” jawabku sangat emosi dan segera pergi meninggalkan mereka.
****
10 tahun telah berlalu, dan Agung belum juga di temukan.
            Hari ini warga sangat terkejut melihat ada orang kaya yang masuk lingkungan kami, dan semua warga ingin mengetahui siapa dia. Jaket bewarna hitam, sepatu
7
bermerek, dan kaca mata yang menutupi kedua matanya. Belum sempat aku memperhatikan ia lebih jauh, pemuda itu segera menuju kepadaku dan menarik lenganku.
            “Lepas, anda ini siapa? Jangan mentang-mentang anda orang kaya lalu anda dapat memperlakukan saya seperti ini.” kataku dengan sangat tegas agar orang ini bisa melepaskan lenganku.
            Dan akhirnya ia melepaskan tanganku, dan segera melepaskan kaca mata hitamnya. Aku terkejut, dan aku pun tersentak kebelakang. Dia adalah Agung.
            “Dian, beritahu aku dimana Ayahku berada?” tanya Agung dengan lirih.
            “Bagaimana kau bisa menjadi seperti ini?” tanyaku heran.
            “Ceritanya sangat panjang, nanti akan aku ceritakan setelah aku bertemu Ayah.” jawabnya bersemangat karena sudah tidak sabar ingin berjumpa dengan Ayahnya.
            Akhirnya dengan sangat terpaksa aku menunjukkan dimana sekarang Ayahnya berada. Dan akhirnya aku sampai pada suatu tempat.
            “Dian, aku ini ingin berjumpa dengan Ayahku. Kenapa kau membawaku ketempat seperti ini?” tanyanya sangat heran.
            Kemudian aku pun tak bisa berkata apa pun, dan segera menunjuk suatu nama yang tertera pada suatu benda. Belum lama aku menunjukkan benda yang bertuliskan nama Pak Rio, air mata Agung sudah mengalir dengan semua penyesalannya selama ini.
            “Ayah……” sesal Agung karena selama ini telah meninggalkan Ayahnya.
            Ayah Agung, sudah meninggal dunia 7 tahun yang lalu karena gantung diri. Pak Rio sangat menyesal atas perbuatannya terhadap anak kandungnya sendiri. Akhirnya Pak Rio sudah tidak tahan dengan keadaan yang menimpa keluarganya, dan memilih untuk menyusul istrinya yang tak lain adalah Ibu Agung. Aku pun segera membawa Agung kerumah dan aku ingin mendengar semua cerita yang Agung alami selama ini sehingga menjadi orang sukses seperti sekarang.
            “Begini awal mulanya, sore itu setelah aku bertemu denganmu, aku pun menjadi putus asa karena aku berfikir sudah tidak ada lagi orang yang sayang padaku. Sampai akhirnya, aku memilih untuk menghabisi hidupku dengan terjun ke sungai yang dalam dipinggir perumahan Asri di seberang sana. Tetapi datanglah seorang bapak-bapak yang menahanku, dan jadilah aku seperti ini. Bapak itu mengangkatku menjadi anak
8
angkatnya, ia sangat merawatku dengan baik dan menyekolahkan aku. Kapan-kapan aku akan mengenalkan ayah angkatku kepadamu, kamu mau kan?” jelasnya panjang lebar. Dan hari pun semakin larut, Agung segera berpamitan dengan Ibu dan aku, lalu ia bergegas pulang.
****
            Berhai-hari telah berlalu, dan akhirnya Agung pun datang lagi dengan membawa seorang bapak-bapak yang sepertinya aku telah mengenalnya.
            “Dian, perkenalkan dia ini Ayah angkatku.” jelas Agung.
            “Perkenalkan, nama sa…..” belum sempat melanjutkan orang itu  terkejut.
            Dan akupun makin terkejut melihat orang itu, belum sempat aku mengucapkan satu kata, Ibu sudah memecahkan gelas yang terjatuh karena Ibu sangat terkejut melihat Ayah angkat Agung adalah Ayahku.
            “Kalian semua ini ada apa?” tanya Agung heran.
            Kami pun hanya bisa terdiam, lalu aku dan Ibu bergegas pergi ke kamar Ibu, tetapi Ayah tetap mengejar kami.
            “Sita tunggu!” teriak Ayahku memanggil nama Ibuku.
            “Sudahlah mas, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.” jawab Ibu dengan meneteskan air matanya.
            “Sita dengarkan saya dulu, selama ini saya sudah mencari kamu dan Dian, tetapi saya tetap saja tidak menemukan kalian.” jelas Ayah.
            “Buat apa kamu mencari kami lagi? Belum puas kamu melihat kita seperti ini?” bentak Ibu.
            “Saya ingin keluarga kita menyatu kembali Sita. Kamu, Dian, Agung dan aku.” bujuk Ayah.
            “Semua sudah terlambat.” tegas Ibu yang langsung meninggalkan kami bertiga.
            Aku dan Agung hanya bisa memandang percakapan Ibu dan Ayah. Dan sepertinya Agung sudah mengerti apa yang telah terjadi selama ini. Dan Ayah pun menegurku.
            “Dian anakku, kamu mau kan menerima Ayah kembali?” pinta Ayah.
            “Jujur Yah, Dian sayang sama Ayah dan Ibu, tetapi bagaimana dengan istri Ayah yang sekarang?” kataku meminta penjelasan.
9
            “Dia sudah lama meninggal dunia, dia pun meminta Ayah untuk mencari kalian dan kembali kepada kalian.” jelas Ayah berharap.
            “Dian akan coba membujuk Ibu.” jelasku.
            Dan mereka pun segera pergi. Lalu sesampainya di rumah, aku pun mulai membujuk Ibu dan menceritakan yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi aku rasa, Ibu memang butuh waktu untuk mempertimbangkan semua ini.
****
3 hari berlalu dan Ayah datang lagi.
            “Bagaimana Sita, apakah kamu ingin memperbaiki hubungan kita ini? Dan menulis buku baru untuk keluarga kita?” tanya Ayah yang sangat berharap pada Ibu.
            Dan aku pun juga berharap agar Ibu dapat menerima Ayah kembali dan mencoba memaafkan kesalahan Ayah selama ini.
            “Bu, jangan sampai Ibu menyesal dan seperti kejadian Pak Rio lalu!” sambungku meyakinkan.
            Belum sempat Agung melanjutkan, Ibu pun langsung memeluk Ayah. Betapa terkejutnya kami semua yang berada di sana. Aku sangat bahagia karena akhirnya keluargaku dapat berkumpul kembali seperti sedia kala dengan bertambahnya anggota keluarga yaitu Agung.
            Sampai akhirnya, aku pun dapat bersekolah kembali. Tak lupa juga, Tania dan Endah yang sekarang ini telah berubah, juga di biayai oleh Ayah agar dapat bersekolah denganku dan Agung. Hidupku kini sangat di penuhi dengan kasih sayang walaupun aku dan Agung sering sekali bertengkar tetapi sebenarnya kami semua saling menyayangi.
            Dan aku juga ingin menyampaikan bahwa, seorang anak jalanan atau pengemis, juga memiliki perasaan dan harga diri walaupun hidup mereka tergantung terhadap pemberian orang lain. Dan  harus sepatutnya kita semua menghargai usaha dan kerja keras mereka.

SEKIAN


10


buah karya ISNA DIAN KRISNANDI :)

0 komentar:

Posting Komentar