Kamis, 02 Juni 2011 | By: isna dian krisnandi :)

MALAS BELAJAR?? -___________-

Empat Penyebab Anak Malas Belajar

 

Berbagai upaya sudah dilakukan agar anak semangat belajar. Tapi, hasilnya justru sebaliknya. Seringkali penyebabnya muncul dari orangtua.
Memahami anak sebagai individu yang sedang menjalani tahapan-tahapan dalam masa pertumbuhannya, diperlukan kesabaran ekstra. Demikian pula ketika mendapati anak yang telah memasuki usia sekolah begitu malas belajar. Mengandalkan guru untuk menyelesaikan masalah? Tentu tak bisa begitu.
Apalagi bila kita menyadari bahwa anak sesungguhnya memulai pendidikannya dari rumah. Sehingga, peran orangtua untuk membantu secara langsung kesulitan yang dialami anak merupakan hal yang sangat penting. Mencari penyebabnya adalah langkah awal untuk menerapkan solusi yang tepat.
Robert D. Carpenter MD adalah seorang peneliti yang pernah mengadakan pengamatan terhadap perkembangan belajar murid sekolah dasar di California, Amerika Serikat. Dalam pengamatannya ditemukan adanya penyebab mengapa anak-anak kerap mengalami masalah dalam belajar yang cenderung membuat mereka jadi malas. Berikut ini empat penyebab yang kerap terjadi dan menyebabkan anak malas belajar.
1. Komunikasi tidak efektif
Ingat, target kita berkomunikasi adalah memastikan bahwa ‘pesan’ yang ingin kita sampaikan kepada penerima pesan (anak) diterima dengan benar. Tentu orangtua ingin agar anak mengerti, menyukai dan melakukan apa-apa yang dipikirkan orangtua. Komunikasi yang efektif juga bisa mengungkapkan kehangatan dan kasih sayang orangtua, misalnya, “Ayah bangga sekali, kamu sudah berusaha keras belajar di semester ini.”
Coba ingat-ingat bagaimana pola komunikasi yang kita bangun selama ini. Sudahkah anak-anak menangkap pesan yang kita sampaikan sesuai dengan yang kita maksud?
Seringkali orangtua lupa menyampaikan ‘isi’ dari pesannya, tapi lebih banyak merembet pada hal-hal yang sebenarnya di luar maksud utamanya. Misal, nilai ulangan harian anak di bawah rata-rata teman sekelasnya. Tanpa bertanya terlebih dulu kepada anak kenapa nilainya jelek, Ibu langsung komentar, “Itulah akibatnya kalau kamu nggak nurut Ibu. Main melulu sih. Ibu tuh dulu waktu sekolah nggak pernah dapat nilai 6. Kamu kok nilainya jelek begini. Gimana sih?” Apa inti pesan yang disampaikan Ibu? Anak salah karena nilainya jelek dan semakin salah karena Ibu selalu membandingkan anak dengan keadaan Ibunya sewaktu sekolah. Akibatnya, anak akan berpendapat, “Ah, nggak ada gunanya bilang ke Ibu kalau nilai jelek. Nanti pasti dimarahin.”
Padahal, mengetahui nilai anak yang di bawah rata-rata buat orangtua sangat penting untuk mengevaluasi penyebabnya. “Wah, nilai anak saya untuk mata pelajaran matematika kenapa selalu jelek ya? Apa yang perlu dibantu?” Sederet pertanyaan itu bisa terjawab bila kita berkomunikasi secara efektif, bukan menyalah-nyalahkan anak. Bila penyebab bisa segera diketahui, maka orangtua bisa mencari solusinya dan melakukan perbaikan.
Komunikasi yang tidak efektif yang berjalan selama bertahun-tahun, pastinya akan berdampak negatif pada pembentukan karakter anak. Padahal, salah satu fungsi komunikasi adalah untuk mengenal diri sendiri dan orang lain. Bisa dipastikan pola seperti itu akan membuat anak bingung dalam mengenali dirinya sendiri dan orangtuanya. ‘Apa sih sebenarnya maunya Ayah/Ibu?’ Kebingungan ini mengakibatkan dalam diri anak tidak tumbuh motivasi kuat untuk berprestasi, toh mereka tak tahu apa gunanya mereka belajar.
2. Tak terbantahkan
‘Pokoknya kamu harus ranking satu. Dulu, ayah sekolah jalan kaki, tapi selalu ranking satu. Kenapa kamu nggak bisa?’ Menekankan dengan kalimat, ‘pokoknya’, ‘seharusnya’, dan kata sejenis lainnya menunjukkan tidak adanya celah untuk pilihan lain.
Orangtua yang tak terbantahkan membuat anak sulit mengemukakan pendapatnya. Bahkan, sulit mengetahui potensi dirinya sendiri, apalagi mengoptimalkan potensinya. Kecenderungan tak terbantahkan ini kalau berlanjut terus bisa menjurus pada upaya memaksakan kehendak orangtua pada anak. Misalnya, “Nanti kamu harus jadi dokter.” Kalaupun akhirnya anak mengikuti kehendak orangtuanya kuliah di fakultas kedokteran, ia akan menjalaninya dengan setengah hati. Bisa jadi, hanya setahun dijalani, selanjutnya keluar karena bertentangan dengan keinginannya. Tentu kita tak ingin ini terjadi bukan?
3. Target tidak pas
Target yang tidak pas, bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi dari kemampuannya. Jangan sampai memaksakan begitu banyak kegiatan pada seorang anak sehingga mereka jadi jenuh dan terlalu lelah. Akibat overaktivitas, banyak anak yang kemudian mulai meninggalkan belajar sebagai kegiatan yang seharusnya paling utama.
Di sinilah peranan orangtua sangat penting, jangan sampai terlalu memaksa anak dengan harapan agar mereka dapat menuai prestasi sebanyak-banyaknya. Mereka didaftarkan pada berbagai macam kursus atau les privat tanpa mengetahui bahwa batas IQ seorang anak tidak memungkinkannya menerima berbagai macam kegiatan yang disodorkan oleh orangtua.
Namun, sebaliknya bagi anak yang memiliki IQ tinggi, juga perlu penanganan khusus, karena mereka tidak cukup dengan target regular untuk anak lainnya. Mereka membutuhkan tantangan lebih supaya potensinya teroptimalkan. Untuk mengetahui potensi ini, orangtua perlu bantuan psikolog.
4. Aturan dan hukuman yang tidak mendidik
Terlalu ketat dalam rutinitas harian bisa menyebabkan akhirnya anak malas belajar. Namun, sebaliknya tanpa membuat rutinitas harian anak tidak terbiasa memiliki jadwal belajar yang harus dipatuhinya. Jalan tengahnya, rutinitas tidak bisa ditetapkan secara sepihak oleh orangtua, namun dibangun bersama-sama.
Membuat aturan juga harus diikuti dengan konsekuensi. Jadi, anak dapat mengerti apa hubungannya antara kepatuhan menjalani aturan dengan konsekuensinya, bukan sekadar hukuman yang tidak mendidik, seperti hukuman cubitan bila dapat nilai jelek
Bagi anak usia SD ke atas, orangtua perlu mendiskusikannya dengan anak. Aturan tersebut ditandatangani dan dipasang di dekat meja belajar. Misal, 1) Belajar sehabis shalat Maghrib sampai Isya; 2) Boleh nonton Avatar pada minggu pagi; 3) Main PS paling lama 2 jam di hari libur; 4) dan seterusnya.
Jangan bosan juga untuk meng-up date kesepakatan dan mengingatkan kalau ada yang melanggar. Ingatkan juga akan konsekwensinya, misalnya “Belajar yuk! Kemarin kita sepakat kan kalau nggak belajar, gimana hayo?”
Biarkan anak menjawab konsekwensinya. Jika aturan itu sudah dibuat bersama, pasti anak ingat akan konsekwensinya. Harapannya, kesadaran untuk belajar akan tumbuh dari dalam diri anak, bukan dipaksakan orangtua. Tidak ada lagi hukuman yang tidak mendidik, karena hukuman akan membuat anak berpikir “Ugh, belajar sangat tidak menyenangkan!”
Mewaspadai empat hal tersebut penting untuk mencegah kemalasan anak semakin parah. Yuk, bantu anak-anak kita agar rajin dan senang belajar.

http://ahzami.wordpress.com/2008/06/13/empat-penyebab-anak-malas-belajar/


Mengatasi Malas Belajar Anak
 Mencari sebab musababnya anak menjadi malas adalah langkah pertama. Saran berikutnya antara lain sbb:

1. Menanamkan pengertian yang benar tentang seluk beluk belajar pada anak sejak dini.
Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak. menumbuhkan inisiatif belajar mandiri pada anak, menanamkan kesadaran serta tanggung jawab selaku pelajar pada anak merupakan hal lain yang bermanfaat jangka panjang.

2. Berikan contoh "belajar" pada anak.
Anak cenderung meniru perilaku orangtua. Ketika menyuruh dan mengawasi anak belajar, orangtua juga perlu untuk terlihat belajar (misalnya membaca buku-buku).  Sesekali ayah-ibu perlu berdiskusi satu sama lain, mengenai topik-topik serius (suasana seperti anak sedang kerja kelompok dan diskusi dengan teman-teman, jadi anak melihat kalau orangtuanya juga belajar).

2.
Berikan insentif jika anak belajar. Insentif yang dapat diberikan ke anak tidak selalu harus berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian. Pujilah anak saat ia mau belajar tanpa mesti disuruh
3. Sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang diajarkan di sekolah pada anak (bukan dalam keadaan mengetes anak, tapi misalnya sembari mengisi tts atau ikut menjawab kuis ). Jika anak bisa menjawab, puji dia dengan menyebut kepintarannya sebagai hasil belajar. Kalau anak tidak bisa, tunjukkan rasa kecewa dan mengatakan "Yah Ade nggak bisa jawab, nggak bisa bantu Mama deh. Ade, di buku pelajarannya ada nggak sih jawabannya? Kita lihat yuk sama-sama". Dengan cara ini, anak sekaligus akan merasa dipercaya dan dihargai oleh orangtua, karena orangtua mau meminta bantuannya.

4.
mengajarkan kepada anak pelajaran-pelajaran dengan metode tertentu yang sesuai dengan kemampuan anak.Misalnya active learning atau learning by doing, atau learning through playing, sehingga anak merasakan bahwa belajar adalah sesuatu yang menyenangkan.

5. Komunikasi
Hendaklah ortu membuka diri , berkomunikasi dengan anaknya guna memperoleh secara langsung informasi yang tepat mengenai dirinya.
Carilah situasi dan kondisi yang tepat untuk dapat berkomunikasi secara terbuka dengannya. Setelah itu ajaklah anak untuk mengungkapkan penyebab ia malas belajar. Pergunakan setiap suasana yang santai seperti saat membantu ibu di dapur, berjalan-jalan atau sambil bermain, tidak harus formal yang membuat anak tidak bisa membuka permasalahan dirinya.

6. Menciptakan disiplin.
jadikan belajar sebagai rutinitas yang pasti.

7. Menegakkan kedisiplinan.
Setelah point 6,
Menegakkan kedisiplinan harus dilakukan bilamana anak mulai meninggalkan rutinitas  yang telah disepakati. Bilamana anak melakukan pelanggaran sedapat mungkin hindari sanksi yang bersifat fisik (menjewer, menyentil, mencubit, atau memukul).  gunakanlah konsekuensi-konsekuensi logis yang dapat diterima oleh akal pikiran anak.

8. 
Pilih waktu belajar terbaik untuk anak, ketika anak merasa segar. Mungkin sehabis mandi sore. Anak juga bisa diajak bersama-sama menentukan kapan waktu belajarnya.

9.
Kenali pola kemampuan dan perkembangan anak kemudian  susunlah suatu jadwal belajar yang sesuai.
dalam hal ini IQ, EQ, kemampuan konsentrasi ,daya serap dll.

10.
Menciptakan suasana belajar yang baik dan nyamanSetidaknya orangtua memenuhi kebutuhan sarana belajar, memberikan perhatian dengan cara mengarahkan dan mendampingi anak saat belajar. Sebagai selingan orangtua dapat pula memberikan permainan-permainan yang mendidik agar suasana belajar tidak tegang dan tetap menarik perhatian.

11. Menghibur dan memberikan solusi yang baik dan bijaksana pada anak.
Dalam hal ini jika anak sakit/sedih.

Beberapa hal yang tidak kalah pentingnya dalam menyikapi anak yang sedang dilanda malas belajat adalah
1. Orangtua harus menyadari sisi positif sang anak.
Galilah sisi positif anak agar anak menyadari dirinya sendiri untuk mengatasi masalahnya,.
Pernah nggak sih kamu menghadapi PR yang sangat sulit, tapi akhirnya bisa mengatasinya?
Ajak anak untuk mengingat ingat, dan kemudian bercerita. Begitu anak mengingat momen itu, gali lebih jauh. PR apa itu, apa saja kesulitannya, bagaimana dia mengatasinya, dan seterusnya.
Anak akhirnya tersadar bahwa dia bisa mengatasi kesulitan-kesulitannya itu, karena dia memiliki sisi positif tertentu. Sisi itu bergantung dari sang anak. Bisa saja karena kesabaran, keuletan, usaha dia untuk bertanya kepada teman, dan sebagainya.
Perkuat keyakinan anak, atau sadarkan anak. Misalnya dengan mengatakan: Nah, kamu pernah mengalami hal yang seperti ini, dan berarti kamu bisa mengatasinya
2. Gunakan imajinasi anak
Orangtua membantu anak membayangkan, apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Baik dalam waktu panjang atau pendek.
Pancing anak untuk membayangkan sesuatu yang menyenangkan jika dia berhasil mengerjakan PR-nya dengan baik., kira-kira apa ya komentar dari guru? Minta dia menggambarkan imajinasinya dengan jelas, apa jadinya jika PR-nya bagus. Mulai dari bagaimana senyum sang guru, komentarnya, dan sebagainya.
3. Mengarahkan anak untu berteman dan "hidup" dalam lingkungan yang baik dan mendukung.
4. Tidak terfokus bahwa belajar hanya berkutat pada buku non fiksi. Gunakan segala hal yang baik yang mampu membuat anak "belajar"tentang segala sesuatu, termasuk permainannya karena dunia bermain adalah dunia anak-anak Pilih dan arahkan permainannya sehingga anak bisa berkembang.
5. Memberikan bekal nilai-nilai religius pada anak
Inilah faktor yang sangat penting ,disamping doa orang tua akan anak-anaknya. Apalagi di jaman yang berkembang dengan pesatnya. Tak mungkin orang tua memberikan pengawasan secara kasat mata terus menerus.Juga kemajuan teknologi. Satu hal yang menjadi jawabnya adalah: beragama dengan baik dan benar.




sumber
http://www.e-psikologi.com/anak/060502.htm
http://www.keluargabahagia.com/artikel.php?act=detail&id=13
keajaibankecil.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar